Al-Qura’n Surat Ali ‘Imran Ayat 102-104


Tadabbur Al-Qura’n Surat Ali ‘Imran Ayat 102-104



Sebab Turunnya Ayat
Pada zaman jahiliyah sebelum Islam ada dua suku yaitu; Suku Aus dan Khazraj yang selalu bermusuhan turun-temurun selama 120 tahun, permusuhan kedua suku tersebut berakhir setelah Nabi Muhammad SAW mendakwahkan Islam kepada mereka, pada akhirnya Suku Aus; yakni kaum Anshar dan Suku Khazraj hidup berdampingan, secara damai dan penuh keakraban, suatu ketika Syas Ibn Qais seorang Yahudi melihat Suku Aus dengan Suku Khazraj duduk bersama dengan santai dan penuh keakraban, padahal sebelumnya mereka bermusuhan, Qais tidak suka melihat keakraban  dan kedamaian mereka, lalu dia menyuruh seorang pemuda Yahudi duduk bersama Suku Aus dan Khazraj untuk menyinggung perang “Bu’ast” yang pernah terjadi antara Aus dengan Khazraj lalu masing-masing suku terpancing dan mengagungkan sukunya masing-masing,  saling caci maki dan mengangkat senjata, dan untung Rasulullah SAW yang mendengar perestiwa tersebut segera datang dan menasehati mereka: Apakah kalian termakan fitnah jahiliyah itu, bukankah Allah telah mengangkat derajat kamu semua dengan agama Islam, dan menghilangkan dari kalian semua yang berkaitan dengan jahiliyah?. Setelah mendengar nasehat Rasul, mereka sadar, menangis dan saling berpalukan. Sungguh peristiwa itu adalah seburuk-buruk sekaligus sebaik-baik peristiwa. Demkianlah asbabun nuzul Q.S. Ali Imran ayat 101-103 menurut sahabat.

(QS3. Ali 'Imran ayat 102)

يَـآءَيُّها الَّـذِ ينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.”( Q.S. Ali Imran ayat 102)
Taqwa secara etimologis berarti waspada diri dan takut. Taqwa kepada Allah secara terminologis adalah melaksanakan perintah Allah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi larangan Allah sebagaimana yang dilarang oleh Allah. Sementara sahabat nabi memahami arti “haqqa tuqatih” sebagaimana sabda nabi, yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawai dari Abdullah Ibn Mas’ud:

Artinya: “Ittaqullah haqqa tuqatihi” ialah hendaknya Dia ditaati tidak dimaksiati, disyukuri tidak diingkari dan diingat tidak dilupakan”. (H.R. Al-Hakim)

Ada juga yang memahami  “haqqa tuqatih” itu dengan “bertakwa kepada Allah sesuai dengan kemampuan maksimal yang dimilikinya, ini  didasarkan pada Surat At-Taqhabun;

فَـاتَّقُوا اللهَ مَـا اسْتَطَعْتُمْ


Artinya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Q.S. At-Taghabun: 16)
Yang dimaksud dengan “Walatamutunna wa antum muslimuun” antara lain adalah “Janganlah seseorang itu meninggal melainkan ia berbaik sangka kepada Allah”, sesuai hadits Nabi:

Artinya: “Jangnlah seorang diantara kamu mati melainkan ia berbaik sangka terhadap Allah” (H.R. Muslim)

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Allah berfirman: Aku berada pada prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku. Jika ia berprasangka baik maka ia adalah untuk dirinya sendiri dan jika ia berburuk sangka terhadap diri-Ku maka itu adalah untuk dirinya sendiri”.

“Walatamutunna wa antum muslimuun” bias juga dipahami bahwa “janganlah seseorang muslim meninggal dunia sebelum semua aspek aktifitas lahir dan bathinnya sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya.

وَاعْتَصِمُوْ بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا وَلَا تَفَرَّقُوْا . وَذْ كُـرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَآءً فَـأَلَّـفَ بَينَ قُلُوْ بِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَ كُمْ مِنْهَا. كَذَا لِكَ يُبَيِّنُ ا اللهُ لَـكُمْ ءَايَاتِهِ، لَعَلَّـكُمْ تَهْتَدُوْنَ

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S. Ali Imran: 103)

Yang dimaksud dengan “Tali Allah (Bihablillah)” dalam ayat tersebut adalah Al-Qur'an sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardaweh dari Abdullah Ibnu Abbas;

Artinya: “Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah tali Allah yang kokoh, cahaya yang menerangkan, obat penyembuh yang berguna, pelindung bagi yang berpegang kepadanya, dan aman bagi yang mengikutinya”.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan untuk berpegang teguh pada Al-Qur'an sebagai dasar dalam membina ketentraman dan keharmonisan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud dengan “Fa allafa baina qulubikum” yakni mengharmoniskan atau mempersatu hati kamu, menunjukkan betapa kuat jalinan kasih sayang dan persatuan mereka, karena yang diharmoniskan Allah bukan hanya langkah-langkah mereka, tetapi hati mereka. Dan kalau hati telah menyatu, maka segala sesuatu sudah ringan dipikul dan segala kesalahpahaman (jika seandainya muncul) maka akan mudah diselesaikan. Memang, yang penting adalah kesatuan hati dan kebersamaan ummat dalam berjuang di jalan Allah, bukan kesatuan organisasi.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِلْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ . وَأُولَـآءِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.(Q.S. Ali Imran: 104 )

Jika min dalam ayat di atas (minkum) adalah min bayaniyah, maka dakwah menjadi kewajiban setiap orang (individual), tapi jika min itu adalah min tab’idhiyyah (menyatakan sebagian) maka dakwah menjadi kewajiban secara kolektif atau secara organisatoris. Kedua perngertian itu dapat digunakan sekaligus. Untuk hal-hal yang mampu dilakukan secara individual, dakwah menjadi kewajiban individual (fardhu ‘ain), sedangkan untuk hal-hal yang bisa dilakukan secara kolektif, maka dakwah menjadi kewajiban kolektif atau secara organisatoris. Setiap orang wajib berdakwah, baik secara aktif maupun secara pasif. Secara pasif dalam arti diri dan kehidupannya dapat menjadi contoh hidup dari keluhuran dan keutamaan ajaran Islam.
Kewajiban setiap individu berdakwah, disamping dinyatakan oleh ayat di atas juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW. Setelah menyampaikan pesan-pesan penting dan mendasar dalam Haji Wada’, Rasulullah bersabda:
Artinya: “Maka hendaklah yang menyaksikan diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadi, karena boleh jadi yang hadir itu menyampaikannya kepada orang yang lebih dalam mempertahatikannya daripada sebagian yang mendengarkannya”. (H.R. Bukhari)

Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW menegaskan:

Artinya: “Sampaikanlah yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat” (H.R. Bukhari)